1. Permasalahan
Papua kembali membara. Rentetan konflik mutakhir yang dipicu ketidakpuasan sejumlah warga Papua terhadap keberadaan PT. Freeport mulai menjalar ke mana-mana. Sebagaimana diberitakan sejumlah media, hingga saat ini tercatat setidaknya 11 karyawan PT. Freeport, aparat keamanan dan warga sipil lainnya meninggal dunia dan lebih dari 40 orang mengalami luka-luka. Namun, ironisnya, semua kejadian itu tak satupun mampu diungkap oleh aparat berwenang. Menyikapi situsi Papua yang makin memanas itu, sejumlah kalangan menyerukan aksi damai untuk Papua.
Namun nyatanya, situasi kini malah bertambah rumit saat Kapolsek Mulya Papua AKP Dominggus Oktavianus Awes tewas ditembak di kepalanya. Peristiwa ini terus merembet dengan serentetan aksi-aksi kekerasan yang kian merisaukan.
Kekerasan demi kekerasan kemudian terus berlanjut melintasi pergantian rezim dan bahkan terus direproduksi hingga masa reformasi kini. Dalam “Refleksi Akhir Tahun 2010”, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) bahkan menyebutkan bahwa kondisi HAM di Papua menurun drastis seiring meningkatnya kembali kekerasan terhadap warga. Sejalan dengan itu, temuan Imparsial (2011) menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap warga sipil Papua meningkat. Aparat keamanan dengan mudah mendeskreditkan orang-orang yang dituduh sebagai separatis.
Dengan mencermati serangkaian konflik dan kekerasan yang terjadi satu tahun terakhir ini, secara umum, konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua dapat dikategorikan pada dua model besar.Pertama, konflik dan kekerasan yang bersifat vertikal-struktural. Kedua, konflik dan kekerasan yang bersifat horisontal.
Model pertama mengemuka dalam ragam tuntutan “Papua Merdeka”. Bentuk kekerasannya dapat berupa gangguan keamanan oleh pihak yang sering disebut sebagai “Organisasi Papua Merdeka” dan beragam tindakan kekerasan militer atasnya. Termasuk dalam kategori ini, misalnya sweeping yang dilakukan aparat keamanan atas aksi pengibaran bendera Bintang Kejora yang seringkali memicu kekerasan dari dua belah pihak. Kekerasan yang bersifat struktural lainnya biasanya dipicu oleh ketimpangan dan ketidakadilan serta respon atasnya. Aksi-aksi menentang kebijakan PT. Freeport yang eksploitatif seringkali ditumpas oleh kekuatan militer.
Sementara konflik dan kekerasan model kedua sering terjadi di ranah societal, misalnya berupa konflik antarsuku, antarkelompok, kekerasan domestik, dan kekerasan dalam kategori kriminal murni. Dalam konteks ini, kekerasan domestik (domestic violence) atau sering diidentifikasi sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi terutama berupa kekerasan terhadap perempuan.
Pemerintah seringkali melakukan politisasi terhadap kekerasan yang muncul seolah semua kekerasan yang terjadi mengandung muatan politis yang mengancam eksistensi rezim. Pada saat bersamaan, politisasi yang dikembangkan pemerintah –disadari atau tidak– membangun strukturasi budaya kekerasan dan mereproduksinya pada level societal dan bahkan terus merembes sampai di ranah domestik. Model strukturasi Giddens (Anthony Giddens, 1984) mungkin dapat menjelaskan fenomena ini. Tak heran jika kemudian model kekerasan domestik seperti KDRT tak kalah banyak mencuat dan terus meningkat di Papua.
2. Penyelesaian
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin menyebutkan lima strategi utama yang sering ditempuh para pihak dalam penanganan konflik, yaitu melalui contending (bertanding dan berseteru), yielding (mengalah), with drawing (menarik diri), pola inaction (menempuh dengan jalan berdiam diri), dan problem solving (pemecahan masalah).
Keempat model pertama mengarah pada respon contentious yang melahirkan model spiral-konflik yang eskalatif. Model ini menjelaskan bahwa eskalasi konflik merupakan hasil dari suatu lingkaran setan antara aksi dan reaksi. Taktik contentious yang dilakukan oleh suatu pihak mendorong timbulnya respon contentious yang sama dari pihak lain. Respon ini memberikan sumbangan terhadap tindakan contentious lebih lanjut dari pihak yang bersangkutan. Ini membuat lingkaran konflik menjadi utuh dan kemudian mulai membentuk lingkaran berikutnya menjadi “konflik abadi” yang semakin akut. Secara sederhana, Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin menggambarkan model spiral-konflik sebagai berikut:
Dalam konteks kekerasan di Papua, penyelesaian konflik yang ditempuh pemerintah awalnya sering diupayakan melalui proses contentious atau contending. Penetapan Daerah Operasi Militer (DOM) memperlihatkan bahwa pemerintah pusat cenderung menggunakan pendekatan contending dan kemudian memaksa masyarakat Papua untuk mengalah (yielding and with drawing). Namun rupanya, ”tantangan” pemerintah pusat itu bukan meredakan perlawanan, namun justru memicu resistensi masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Agaknya, model spiral-konflik di atas dapat menjelaskan mengapa konflik dan kekerasan di Papua terus bergulir dalam waktu yang cukup lama dan bahkan menimbulkan persoalan cukup pelik dalam wujud Regional Questions yang mengancam integrasi bangsa.
sumber : http://hankam.kompasiana.com/