ETIKA PROFESI
Kepakaran atau
expertise merupakan suatu pengetahuan
yang ekstensif dan spesifik yang diperoleh melalui serangkaian pelatihan,
membaca, serta pengalaman. Pengetahuan dapat membuat pakar mengambil keputusan
secara lebih baik dan lebih cepat, dibandingkan dengan non-pakar dalam
memecahkan problem yang lebih kompleks. Berikut merupakan kepakaran dari
seorang sarjana teknik industri:
Umumnya seorang sarjana teknik
seringkali membanggakan mengenai kompetensinya dalam berbagai hal mulai dari
proses perancangan produk, perancangan tata cara kerja, sampai dengan
membanggakan konsep-konsep strategis untuk mengembangkan kinerja industri.
Seorang profesional teknik industry akan bias menunjukkan cara kerja yang lebih
baik, lebih cerdik, lebih produktif, serta lebih berkualitas. Seorang teknik
industri bisa diharapkan sebagai “problem
solver”, untuk membuat sistem produksi bisa dioperasikan dan dikendalikan
secara lebih efektif, nyaman, aman, sehat, dan efisien. Hal yang demikian
eliminasi dilakukan dalam berbagai hal yang bersifat kontra-produktif seperti
pemborosan waktu, uang, material, energi, serta komoditas lainnya merupakan
fokus utama yang harus dikerjakan[1].
Pada awalnya profesi teknik industri
secara tradisional mengurusi persoalan-persoalan di tingkat pengendalian
operasional (seperti: perancangan tata letak mesin, tata cara kerja, sistem
manusia-mesin, dan penetapan standar kerja). Beberapa dekade terakhir ini
profesi teknik industri lebih banyak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang terkait dengan perencanaan strategi dan pengambilan keputusan pada tingkat
manajemen puncak[1].
Hasil yang baik berasal dari hal yang
baik. Begitupula dengan profesi yang dijalani, akan berjalan dengan baik
apabila diimbangi dengan karakter dari etika berprofesi yang baik pula. Berikut
ini merupakan contoh kasus karakter yang tidak beretika[2]:
Pertama adalah tidak menghargai pendapat
dan keputusan orang saat melakukan musyawarah demi tercapainya suatu keputusan
bersama. Perihal ini berkaitan dengan adanya suatu rapat bersama, dimana banyak
argumen yang diberikan oleh pendapat lainnya, akan tetapi tidak disetujui, dan
perolehan keputusan yang dihasilkan tidak bisa diterima oleh salah seorang
anggota rapat. Hal ini adalah salah satu contoh etika tidak berprofesi.
Kedua adalah menanggapi dengan sikap
yang emosional. Perihal ini berkaitan dengan terbentuknya sebuah tim, dimana
penyelesaian suatu hasil rundingan tidak dapat disepakati antara individu satu
dengan lainnya yang disebabkan karena tidak dapat diselesaikannya dengan kepala
dingin atas pembahasan yang sedang dilakukan.
Ketiga adalah bersikap egois dalam
lingkup bersama. Perihal ini berkaitan dengan adanya sekelompok tim, dimana
salah seorang anggota enggan menerima beban kerja atau tugas untuk
menyelesaikan suatu misi, dan memberikan tugas tersebut pada anggota lainnya
dengan wacana sebagai penyelesaian suatu misi.
Keempat adalah bersikap acuh tak acuh
atau tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Perihal ini berkaitan dengan
inginnya bergabung menjadi bagian dalam suatu kelompok, namun enggan untuk
berbaur seakan tidak peduli dengan segala urusan yang ada.
Kelima adalah gaya bahasa tubuh dan nada
bicara yang tidak sewajarnya. Perihal ini berkaitan dengan adanya perlakuan
dari anggota dalam sekelompok grup atau hal lainnya, yang suka melakukan
perbuatan tidak menyenangkan, hingga menyakitkan hati orang lain.
Kelima hal tersebut menunjukkan beberapa
contoh dari adanya karakter tidak beretika yang harus dihilangkan. Lain
karakter lain aktivitas. Aktivitas yang tidak beretika juga tidak baik untuk
dilakukan. Berikut ini merupakan beberapa contoh dari aktivitas yang tidak
beretika:
Pertama, tidak bertanggung jawab atas
tugas yang diperoleh. Perolehan tugas yang didapat dari atasan ataupun rekan
kerja harus dikerjakan dengan baik, sungguh-sungguh, cepat dan teliti. Sebab,
apabila hal ini tidak dilakukan dengan penuh tanggung jawab, maka akan
menghambat kegiatan lainnya.
Kedua, tidak konsistennya dalam bekerja.
Seseorang yang saat melakukan pekerjaan tidak diimbangi dengan konsistensi
dalam bekerja maka tidak dapat bekerja secara professional. Seperti misalnya mood yang selalu berubah dapat
mempengaruhi pekerjaan, maka akan sulit untuk menyelaraskan antara pekerjaan
dengan kehidupan pribadi.
Ketiga, tidak mengikuti peraturan yang
ditetapkan oleh institusi terkait. Pekerja yang melakukan pekerjaannya sesuka
hati tanpa memikirkan adanya perlakuan pelanggaran atau tidak, maka akan
menjadi tidak disiplin dalam melakukan suatu kegiatan. Sebab, segala yang
dilakukan dikerjakan tanpa memikirkan adanya resiko.
Keempat, tidak menjaga keutuhan
institusi. Artinya melakukan kegiatan yang dapat membuat terpecah belah nya
suatu institusi atau membeberkan mengenai buruknya sesama anggota atau bahkan buruknya
kondisi perusahaan.
Kelima, tidak dapat bekerja sama dengan
baik dalam tim, dimana melakukan kegiatan yang tidak berdampak baik bagi
perusahaan.
Sumber:
[2]
http://sbm.binus.ac.id/files/2013/05/10-KARAKTER-KEPEMIMPINAN-MASA-DEPAN.pdf